Jumat, 21 November 2014

Pendidikan dan Konflik Sosial di Sekolah

11-Ahamdulillah-Siap-jadi-JUARA
A. Pengertian Pendidikan
Dalam arti sederhana, pendidikan bisa diartikan sebagai proses sosialisasi, yakni usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuaidengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.
Dalam Undang-Undang System Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I, dikatakan bahwa
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mengendalikan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pada bab 2 pasal 3 dijelaskan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
B. Arti dan Dinamika Konflik Social di Sekolah
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Sementara itu, konflik sosial bisa diartikan menjadi dua hal. Pertama, perspektif atau sudut pandang yang menganggap konflik selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial. Kedua, konflik sosial merupakan pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan perlawanan. Soerjono Soekanto menyebutkan konflik sebagai pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.
Dalam lingkungan sekolah, konflik social bisa diartikan sebagai pertentangan atau pertikaian antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain yang terjadi di lingkungan sekolah. Bila kelompok kelas mengejar suatu tujuan dan mendapatkan suatu rintangan, maka timbullah perilaku agresif, disinilah terjadi konflik pada diri mereka. Hal ini berhubungan erat dengan motivasi. Semakin besar motivasi untuk mendapatkan tujuan, bila mendapat rintangan, semakin besar pula konflik yang akan terjadi. Begitu pula semakin besar rintangan yang mereka jumpai dalam mencapai tujuan semakin besar pula agresif mereka.
Konflik dan agresif ditunjukkan oleh kelompok dalam kondisi tertentu. Hukuman yang diantisipasi merupakan suatu gangguan dari seseorang atau kelompok. Bila hukuman Nampak bagi mereka lebih lemah daripada pelanggaran, maka pelanggaran tersebut akan diteruskan.
Konflik dalam kelompok lebih dapat dihalangi oleh mereka yang mempunyai status tinggi daripada berstatus rendah. Misalnya perkelahian anak dapat dihentikan oleh gurunya, tetapi tidak dapat dihentikan oleh teman yang sebaya. Kelompok yang terorganisasi menunjukkan reaksi agresif yang lebih bersifat langsung daripada kelompok yang tidak terorganisasi, seperti lebih bersifat menyerang dan sebagainya. Sebab kelompok yang terorganisasi punya kesatuan perasaan yang lebih besar dan lebih kompak menerima cara bertindak. Sedang kelompok yang tidak diorganisasi sebaliknya.
Cukup sukar untuk mencari sebab-sebab permusuhan atau konflik sebab seringkali sedikit atau tidak ada hubungan antara reaksi permusuhan dengan orang atau kondisi yang menunjukkan permusuhan tersebut. Seringkali antara kedua variable itu tidak rasional. Antar lain konflik terjadi karena kelompok tidak dapat mengidentifikasi sumber problem.
C. Contoh-contoh konflik di sekolah
1. Munculnya kelompok-kelompok atau geng
Geng merupakan salah satu dari kelompok sosial yang dapat tercipta dalam lingkungan sekolah hal ini dapat terjadi disebabkan karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup sendiri di dunia. Terlebih lagi Sekolah Menengah Atas yang muridnya merupakan remaja yang secara psikologi kemampuan berpikir mereka sedang berkembang, memperluas pergaulan sesama siswa dan berpaling kepada teman sebaya yang lebih mengerti kondisi emosi kita. sehingga tidak menerima lagi masukan orang tua secara mentah-mentah .dan sekolah merupakan tempat kedua mereka setelah dirumah karena sebagian waktu mereka dalam sehari mereka habiskan di sekolah. jadi sangat memungkinkan sekolah menjadi sarana untuk hal tersebut.
Faktor penyebab munculnya geng pelajar di sekolah antaralain sebagai berikut :
a. Pengawasan kegiatan anak setelah kegiatan di sekolah yang masih kurang.
b. Kurangnya kegiatan di luar akademik yang sesuai dengan bakat dan minat remaja.
c. Peraturan yang kadang membuat siswa bosan dan memilih hal-hal yang menghindar dari peraturan tersebut.
d. Munculnya orang-orang di luar lingkungan pendidikan yang mempengaruhi dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan negatif sehingga terbentuk geng.
e. Pencarian jati diri untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan.
2. Fenomena tawuran antar pelajar
Tawuran antar pelajar mungkin sudah menjadi hal yang biasa belakangan ini. Media masa selalu memberitakan tentang fenomena yang terjadi diantara para remaja yang masih menempuh pendidikan. Waktu yang seharusnya mereka lakukan untuk belajar justru mereka gunakan untuk saling menyerang satu sama lain. Tawuran antar pelajar ini semakin menjadi semenjak dibentuknya geng-geng, rasa persahabatan yang kuat membuat mereka merasa bagaikan satu tubuh. Apabila ada anggota yang mendapat masalah, maka seluruh anggota akan ikut turun tangan untuk menyelesaikannya. Yang menjadi masalah adalah emosi yang belum stabil pada usia mereka. Masalah yang semula kecil bisa berakibat fatal karena dihadapi dengan penuh emosi.
Penyebab terjadinya tawuran antar pelajar antara lain:
a. Sebab terkecil yang melatar belakangi tawuran yaitu saling ejek satu sama lain, hingga kemudian diantara mereka ada yang tidak terima lalu mereka menyerang kubu yang lain.
b. Dendamnya seorang siswa, hingga ia berusaha untuk membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap telah merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah.
c. Tingkat kestresan dalam menghadapi materi pelajaran. Seperti yang diketahui bahwa materi pelajaran yang ada di sekolah cukup bannyak dan berat. Akhirnya stress yang mereka alami itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
d. Factor lain adalah lemahnya pemahaman tentang agama serta aplikasinya. Mereka tidak tertarik dengan hal keagamaan, sehingga pemahaman mereka kurang. Selain itu, mereka tidak diajarkan untuk aktik mempraktekkan materi yang mereka dapat. Mereka hanya mengetahui teori dan lemah dalam hal praktek.
D. Penanganan Konflik
Bila kelompok menunjukkan agresif atau permusuhan, langkah pertama yang harus diambil oleh guru adalah menganalisa situasi. Setelah tahu akar permasalahanya, yang terpenting adalah segera mencari soluri. Dalam hal ini semua pihak harus ikut berperan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
1. Peranan keluarga dalam penyelesaian masalah ini.
a. Pendidikan yang mendasar di mulai di rumah. Orangtua harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik sebaiknya juga harus diubah. Orangtua tidak seharusnya mendikte anak, namun memberi keteladanan.
b. Selain itu, tidak mengekang anak untuk melakukan sesuatu dan biarkan mereka berekspresi selama masih dalam batas yang wajar.
c. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta kondisi rumah yang nyaman dan kondusif. Yang tidak kalah penting adalah membatasi anak-anak dalam melihat tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan. Orangtua harus pandai memilih tontonan yang positif bagi anak sehingga dapat dijadikan teladan. Membatasi anak usia remaja memang lebih sulit, karena setiap informasi dapat mereka akses dari manapun.
d. Penanaman nilai-nilai keagamaan semenjak dini perlu dilakukan, sehingga anak akan dapat membentengi diri mereka dari hal negative apabila tidak berada dilingkunagn keluarga.
2. Peranan sekolah sangat penting dalam penyelesaian masalah ini.
a. Untuk meminimalkan konflik, sekolah harus membuat tata tertib yang ketat agar siswa bisa lebih disiplin.
b. Selain itu juga diperlukan peran BK dalam pembinaan mental siswa. BK membantu menemukan solusi bagi siswa yang mendapat masalah. Sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik dapat dicegah.
c. Mengkondisikan suasana yang ramah dan penuh kasih sayang. Guru tidak hanya berperan sebagai penyalur pengetahuan, namun juga berperan sebagai orangtua yakni mendidik.
d. Menyediakan fasilitas untuk menyalurkan energy siswa. Contohnya meyediakan kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energy mereka tinggi, sehingga perludisalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak mengarah pada hal yang merugikan.
3. Peranan masyarakat dalam penyelesaian masalah.
a. Masyarakat memberikan ruang bagi remaja untuk berekspresi.
b. Mengapresiasi tindakan-tindakan positif yang dilakukan remaja.
c. Memberikan keteladanan diluar lingkup keluarga.
4. Peranan pemerintah dalam penyelesaian masalah.
a. Dalam penyeleggaraan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah membutuhkan dana. Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk meningkatkan sarana dan prasrana kegiatan tersebut.
b. Pemerintah harus tegas menerapkan sanksi hukuman. Memberikan efek jera pada siswa yang melanggar peraturan, sehingga ia akan berfikir berkali-kali untuk mengulangi hal yang sama. Apabila melihat sanksi yang tegas, maka orang lain pun akan segan untuk menirunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar